trik menguasai Interpretasi Jari dalam Bahasa Isyarat


Filed under: everyday geometry — widyaulia @ 23:53
Jika Anda ditanya, kegiatan apa yang pasti dilakukan oleh semua manusia di dunia? Mungkin mayoritas orang akan menjawab makan, tidur, bernafas, atau kebutuhan dasar manusia lainnya. Tapi, satu hal yang terkadang luput adalah komunikasi. Semua makhluk hidup di dunia ini berkomunikasi dengan caranya masing-masing. Bagi manusia, bahasa menjadi media berkomunikasi yang umumnya disampaikan dengan berbicara.
Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang memiliki kebutuhan khusus seperti kaum tuna rungu? Komunikasi masih tetap dilakukan dengan bahasa, tapi disampaikan dengan cara yang berbeda. Bahasa isyarat memanfaatkan mata sebagai reseptor penerima kode-kode visual yang dikirimkan melalui gestur tubuh dan ekspresi wajah. Kompleksitas bahasa isyarat memang lebih tinggi, karena 50% penyampaian informasi tidak dilakukan dengan deskripsi kata-per kata. Untuk hal-hal dasar seperti nama, dibutuhkan pengejaan huruf per huruf dalam mengkomunikasikannya. Terdapat pengaturan komposisi dari jari-jari tangan dalam upaya penyampaian informasi yang menitikberatkan pada aspek visual, yaitu mata. Sehingga, terdapat interpretasi huruf ke gerakan tangan dalam bahasa isyarat, seperti terlihat pada gambar berikut:
Image

Melihat simbol-simbol huruf pada bahasa isyarat tersebut, timbul pertanyaan mengenai bagaimana transformasi bentuk huruf latin menjadi komposisi jari-jari tangan? Maka, saya memulai dengan mencari huruf apa saja yang bentuknya sama persis dengan konfigurasi jari tangan pada bahasa isyarat, yaitu:
Image

Ternyata, hanya 6 dari 26 huruf pada bahasa isyarat yang secara nyata berupa konfigurasi jari yang membuat bentuk sama dengan rupa bentuk huruf latin. Bentuk huruf C dan O dapat terlihat jika dipandang dari sisi samping tangan. Sementara bentuk huruf I, L, V, dan W terlihat jika dipandang dari arah depan tangan. Cara pandang terhadap tangan untuk memahami pembentukan huruf, dapat diterjemahkan dengan bantuan sumbu cartesian.
Image
Jika tangan dihadapkan menghadap sumbu x positif, maka, kemungkinan pergerakan rotasi jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan jari kelingking adalah dari sumbu z positif searah sumbu x positif menuju sumbu z negatif. Ibu jari memiliki arah pergerakan yang lebih fleksibel yaitu ke arah sumbu z positif dan ke arah sumbu y negatif. Keterbatasan pergerakan jari tangan ini yang kemungkinan jadi penyebab hanya 6 huruf yang dapat dibentuk serupa dengan bentuk huruf latinnya. Sehingga, untuk menjelaskan huruf lainnya, misalnya huruf J dan Z, dilakukan dengan menggunakan salah satu jari yang digerakkan. Pergerakan ini menyebabkan berubahnya posisi tangan pada sumbu cartesian.
Lalu, bagaimana dengan penyimbolan terhadap huruf-huruf yang lainnya? Interpretasi huruf latin ke konfigurasi jari tangan pada huruf-huruf lainnya sepertinya tidak cukup dianalisis dengan melihat bentuk hurufnya saja. Bisa jadi terdapat karakter implisit dari tiap bentuk huruf yang menciptakan konfigurasi yang berbeda-beda pada bahasa isyarat, atau mungkin ada basis teori lain yang menjadi dasar penentuan penyimbolan huruf pada bahasa isyarat?

Sumber:
http://people.howstuffworks.com/sign-language1.htm (diakses tanggal 24 Maret 2013)
http://www.silentwordministries.org/index.php?option=com_content&view=article&id=79:the.. (diakses tanggal 24 Maret 2013)
 Gambar:
http://people.howstuffworks.com/sign-language2.htm (diakses tanggal 24 Maret 2013)
http://cisemath10.wordpress.com/ms-bindu-s/ (diakses tanggal 24 Maret 2013)


Ka’bah : Titik Golden Ratio Bumi

Filed under: classical aesthetics — nuvilailani @ 21:52
Ka’bah adalah sebuah bangunan berbentuk kotak yang terletak di tengah Masjidil Haram, Mekah. Ka’bah dijadikan patokan kiblat untuk ibadah umat Islam diseluruh dunia. Di mana pun umat Islam melakukan ibadah, seperti Sholat, akan menghadap ke arah Ka’bah. Ka’bah juga merupakan bangunan yang wajib dikunjungi orang-orang yang melaksanakan ibadah haji, yakni saat melakukan tawaf (mengitari Ka’bah sebanyak 7 kali).
Dari sekian banyak bangunan bersejarah dalam penyebaran agama Islam, mengapa Ka’bah yang dijadikan kliblat?
 Image
Pernahkah terpikir oleh kita apa yang menyebabkan siapapun yang membangun Ka’bah meletakkan Ka’bah di 21°25‘21.2“ Lintang Utara dan 039°49‘34.1“ Bujur Timur?
Ada informasi yang saya temukan mengenai Ka’bah yang membuat saya berpikir mungkin ini salah satu yang membuat Ka’bah istimewa dan menjadi kiblat umat Islam di seluruh dunia.
Image

“Proporsi jarak antara Mekah – Kutub Utara dengan jarak antara Mekah – Kutub Selatan adalah persis 1,618 yang merupakan Golden Ratio. Selain itu, proporsi jarak antara Kutub Selatan dan Mekah dengan jarak antara kedua kutub adalah lagi-lagi 1,618 unit.
Keajaiban belum selesai, The Golden Ratio Point of the World adalah di kota Mekkah menurut peta lintang dan bujur yang merupakan penentu umum manusia untuk lokasi. Proporsi jarak Timur – Barat Mekah adalah 1,618 unit. Selain itu, proporsi jarak dari Mekah ke garis titik balik matahari dari sisi barat dan perimeter garis lintang dunia pada saat itu juga mengejutkan sama dengan Golden Ratio – 1,618 unit. The Golden Ratio Point of the World selalu dalam batas kota Mekkah, di dalam Daerah Suci yang meliputi Ka’bah menurut semua sistem pemetaan kilometrical meskipun variasi kecil dalam perkiraan mereka.” (sumber : http://sulis-wanto.blogspot.com/2012/12/keajaiban-allah-lewat-rasio-emas-sebuah.html, diakses tanggal 24 Maret 2013)
 http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=LGfnNNub-ik
Informasi tersebut membuktikan kerja sama yang luar biasa antara Sang Pencipta dan makhluk ciptaannya. Allah telah merencakan semua dengan baik namun tidak ada satupun yang tahu apa yang direncanakan-Nya.
Ketika Ka’bah dibangun, teori Golden Ratio belum ditemukan. Mungkinkah yang membangun Ka’bah telah mengukur posisi Ka’bah saat akan dibangun sehingga bisa menghasilkan proporsi Golden Ratio? Atau ini hanya rekayasa penemu Golden Ratio yang kebetulan terjadi pada Ka’bah? Atau inilah rencana Sang Pencipta?

Video Mapping Projection: Mengubah Persepsi Visual pada Arsitektur

Filed under: architecture and other arts,perception — ditanadyaa @ 17:54
Video mapping projection adalah sebuah teknik untuk memproyeksikan video pada permukaan datar. Permukaan datar yang menjadi area proyeksi dari video mapping ini biasanya berupa dinding, layar, struktur, fasad bangunan serta objek-objek tiga dimensi lainnya. Video mapping ini memadukan seni, teknologi, dan juga elemen-elemen geometri dalam proses pembuatannya.
Kata kunci dari video mapping ini adalah projection, yaitu suatu transformasi dari suatu bentuk ke bentuk lainnya. Pada konteks video mapping ini yang diproyeksikan adalah scene pada video. Untuk membuat video mapping semakin menarik dan nyata, teknologi 3D projection diterapkan untuk memunculkan ilusi kedalaman (depth).
Perasaan akan kedalaman dan jarak yang muncul pada proyeksi tersebut merupakan hasil pengubahan persepsi visual dengan menggunakan permainan cahaya dan bayangan. Bahkan tidak jarang pula pembuat video menggunakan sumber cahaya dan bayangan yang artifisial demi mendapatkan efek dan ilusi optik yang sesuai dengan ekspektasi mereka.
Objek yang diproyeksikan dapat berupa motion graphic atau animasi 3D yang terdiri atas bidang-bidang berbentuk geometris, garis, maupun ruang. Proyektor kemudian mentransformasikan input-input tersebut menjadi lebih eksploratif dan menarik, seperti membengkokkan, merotasikan, serta memberikan penekanan (highlight) yang menjadikan objek proyeksi sebagai titik fokus yang diamati oleh penonton.
Secara singkat, proses yang terjadi dalam video mapping projection adalah seperti berikut ini:
(SHAPE, LINE, SPACE) + (LIGHT & SHADOW) -> OPTICAL ILLUSION -> CHANGING PERCEPTION OF FORM
Dapat dikatakan bahwa ilusi optik yang kemudian mengubah persepsi kita terhadap bentuk dan perspektif ini turut mempengaruhi persepsi kita terhadap suatu bangunan sebagai karya arsitektur. Fasad bangunan yang cenderung datar dan monoton menjadi terasa lebih hidup dengan bantuan teknologi proyeksi video ini.
Nah, daripada saya terlalu banyak bercerita, langsung saja saya sajikan video berikut ini ya :D
Memang butuh ketelitian yang tinggi dan juga biaya yang tidak murah untuk menghasilkan video mapping projection ini. Akan tetapi, dengan memelajarinya kita jadi tahu kalau geometri dan matematika dapat diaplikasikan menjadi bentuk-bentuk yang indah dan artistik. Bagaimana, apakah Anda tertarik untuk membuatnya? :)
Sumber:
http://www.creativebloq.com/video/projection-mapping-912849 (diakses 24 Maret 2013)
http://videomapping.org/?page_id=42 (diakses 24 Maret 2013)
http://videomapping.tumblr.com/ (diakses 24 Maret 2013)
http://en.wikipedia.org/wiki/Projection_mapping (diakses 24 Maret 2013)
http://www.mappingaround.com/category/categories/arquitectural/ (diakses 24 Maret 2013)
http://www.youtube.com/watch?v=O3uOhXOCMOs (diakses 24 Maret 2013)

‘Sacred Geometry’ dibalik fenomena Crop Circle

Filed under: architecture and other arts — faradikaayu @ 17:03
Tags: , , ,
“The crop circle phenomena are not just ordinary accidents of nature in the countryside, but may -indeed probably do- have serious implications for us all in terms of what may lie behind them.” -Michael Green, Archaeologist, Architectural Historian, dan pendiri Centre of Crop Circle Studies.
Pada setiap kemunculannya crop circle seringkali menjadi sorotan yang menghebohkan bagi setiap masyarakat, tak terkecuali di bumi pertiwi ini. Kehadirannya selalu dikaitkan dengan keberadaan makhluk luar angkasa yang membuat simbol akan eksistensinya di muka bumi. Yang menarik bagi saya adalah, bagaimana bentuk-bentuk yang terdapat pada crop circle mampu menjadi sebuah konstruksi yang terdiri dari prinsip euclidean geometri.
ImageCrop circle pada awal kemunculannya hanya berupa lingkaran sederhana, dimana bentuk ini dianggap sebagai ‘sacred geometry’ yang mewakili alam semesta, sehingga kemudian pada kemunculan selanjutnya bentuk ini menjadi unsur utama yang dipadukan dan disusun tumpang tindih dengan unsur euclid geometri lainnya.
Image Image Image
Sedangkan pada perkembangannya, crop circle muncul dengan komposisi bentuk geometri lain seperti segitiga yang merupakan simbolik dari suatu penciptaan, hingga membentuk ‘principal element‘ seperti yang ditunjukan pada gambar, dengan masing-masing bernama: vesica piscis, equilateral triangel, dan hexagon.
Lalu, bagaimana ‘principal element‘ tersebut berkembang menjadi pola-pola yang tidak hanya terbentuk dari komposisi geometri lingkaran, segitiga, dan persegi?
Sebenarnya semua itu bukan berarti lepas dari susunan komponen geometri yang telah disebutkan di atas, dengan bantuan grid, kita dapat membedah proses terbentuknya pola ‘crop circle‘ seperti yang sering kita lihat saat ini.
Image
Pola crop circle di atas merupakan pola yang berkembang dari vesica piscis, dimana bentuk geometri lingkaran yang saling bersinggungan masih menjadi unsur utama pembentuk komposisi hingga menghasilkan pola simetri.
Image
ImageImageImage
Kemudian bentuk swallow crop circle yang muncul di UK ini juga mengadopsi bentuk dasar vesica piscis, yang didalamnya terdapat 3 kali pengulangan bentuk dasar dengan perbandingan skala di tiap vesica adalah 3 : 2 : 1 menghasilkan kurva dengan pola seperti burung swallow. Sedangkan lingkaran yang berada di ujung-ujung kurva menyimbolkan kesan siap landas.

ImageImage
ImageImage
Bahkan, ditemukan pula penggunaan golden ratio dalam proses pengaturan proporsi dari dominasi bentuk lingkaran, seperti crop circle seperti pada gambar di atas yang menghasilkan sebuah pola harmonisasi visual.
Dari semua contoh pola crop circle yang telah dipaparkan, meskipun tidak pernah diketahui siapa yang membuat, saya dapat menemukan sebuah hal baru, bahwa keindahan pola-pola tersebut tidaklah lepas dari pengkomposisian bentuk-bentuk geometri yang diatur dalam suatu grid maupun golden ratio.
Crop circles are one of the most spectacular phenomena of our present time. They exhibit beauty, proportion and form. To many individuals they speak in ancient languages of our early ancestors’ universal quest for understanding symbolic sacred form, creative personal insight towards the vastness of our being and the geometric matrix that binds us all.” -Dr. Colette M. Dowell , N.D.
Sumber:
  • Hypermath, http://www.hypermaths.org/ (diakses tanggal 16 Maret 2013)
  • The Sacred Geometry of Crop Circle, http://www.cropcirclesecrets.org/ (diakses tanggal 16 Maret 2013)
  • Perception of Sacred Geometry Contained in Crop Circle Formations, http://www.greatdreams.com/crop/colette/crop_circles_and_sacred_geometry.html  (diakses tanggal 24 Maret 2013)
  • Gambar diambil dari: https://www.facebook.com/media/set/?set=a.405159296197079.88999.151685648211113&type= (diakses tanggal 24 Maret 2013)

Ada Apa di Balik Bento?

Filed under: architecture and other arts — valencia93 @ 15:01
Tags: , ,
Pernahkah Anda makan bento? Bento sudah cukup populer di Indonesia sebagai makanan cepat saji asal Jepang. Di Indonesia sendiri, kita memang mengenal bekal makanan yang dibawakan oleh ibu saat kita pergi ke sekolah. Bekal makanan berisi nasi dan lauk-pauk juga memang dikemas dalam kotak makanan. Toh, apa bedanya Bento ala Jepang dengan bekal makanan yang pernah kita nikmati saat sekolah dulu?
Kualitas bento dapat dilihat dari tekstur dan warna makanan. Hal ini disesuaikan dengan jenis kelamin, tinggi badan, aktivitas harian, dan usia masing-masing. Jumlah kebutuhan kalori setiap harinya dapat dihitung dengan menemukan berat badan ideal terlebih dahulu. Kemudian, dikalikan dengan 25 kkal untuk wanita dan 30 kkal untuk pria.
Berat Badan Ideal = 0.9 (tinggi badan – 100)
Jumlah kalori = Berat Badan Ideal x 25/30 kkal
Image
Image
Sumber: http://item.rakuten.co.jp/yellowstudio/c/0000000352
Ada 3 hal yang menjadi panduan dalam mengatur komposisi bento. Perbandingan 3:2:1 dalam bento digunakan untuk mengatur jumlah makanan. 50% terdiri dari karbohidrat, 33 % merupakan porsi untuk buah dan sayuran, sedangkan 17 % porsi protein. Yang kedua adalah tidak ada permen, makanan berlemak dan cepat saji. Panduan lainnya adalah tidak ada ruang kosong. Ruang kosong dalam kotak dapat diisi dengan aksesoris makanan lainnya, seperti wortel, mentimun, dan lainnya.
Selain memanjakan lidah kita, bento memiliki syarat lainnya, yaitu keindahan visual. Untuk mendapatkan keseimbangan makanan, setiap bento harus menyatukan 5 (lima) elemen yang menjadi aturan tidak tertulis merangkai bento. Hal tersebut melingkupi warna, metode, rasa, pengindraan, dan sudut pandang. Seperti pada gambar di samping, salmon teriyaki bento mengikuti lima panduan tersebut. Warna merah didapat dari jahe jepang (jinjya) dengan rasa sedikit pedas, warna kuning dari renyahnya tempura goreng yang asin, warna hijau dari sayuran yang direbus, warna hitam dari saos soya dan salmon yang dipanggang, dan warna putih dari potongan sushi dan nasi.
“… and beauty, when the appearance of
the work is pleasing and in good taste, and when its members are in due proportion…” (Vitruvius, Morgan’s Translation, 1960)
“The concept of proportion is in composition the most important one, whether it is used consciously or unconsciously.” (Matila Ghyka, 1952)
Menurut Vitruvius dan Ghyka, proporsi merupakan hal terpenting dalam komposisi yang menciptakan keindahan itu sendiri. Makanan bento dikelompokkan dalam tempat-tempat kecil dan disatukan kotak bento. Desain geometri segi empat bento mengemas makanan dengan perbandingan 3:2:1 yang telah disebutkan di atas. Bentuk dan besaran kotak bento pun beragam. Dalam analisa bentuk di samping, persegi panjang ABCD mempunyai proporsi sama dengan DCEF. Image
Pengaturan komposisi bahan, warna dan tekstur makanan memberi keindahan visual pada beno. Dibalik keindahan tersebut justru didukung oleh proporsi bentuk dasar kotak bento. Desain kotak bento juga memiliki pengaruh besar dalam menampung makanan tersebut. Proporsi kotak bento bukan hanya menimbulkan keindahan, namun juga sesuai dengan kebutuhan kalori tubuh setiap kali makan. Bekal makanan yang satu ini berbeda dengan bekal lainnya menjadi lebih menarik, bukan? Dalam pikiran kita, yang jelas setelah makan kita akan merasa kenyang. Sekarang manakah yang lebih penting, keindahan makanan atau mengisi perut agar kenyang?
Sumber: (Diakses pada 22 Maret 2013)
Vitruvius, Terjemahan Morgan, 2006, Ten Books on ArchitectureeBook Version, [Online], (www.gutenberg.org)
http://desxripsi.blogspot.com/2012/11/bento-seni-merangkai-bekal-ala.html#axzz2OMS37zL7
http://health.okezone.com/read/2012/10/05/486/699722/redirect
http://lunchinabox.net/2007/03/07/guide-to-choosing-the-right-size-bento-box/
http://www.okefood.com/read/2012/06/09/299/644279/large
http://www.pangaeashop.com/Choosing_A_Box.html
http://www.pangaeashop.com/Packing_bento.html
http://www.pangaeashop.com/What_is_Bento.html

PENGAPLIKASIAN PROPORSI KASTIL PADA RUMAH

Filed under: classical aesthetics — alfoadrazamdekha @ 13:49
Sebuah kastil pada zaman dulu digunakan sebagai tempat tinggal atau rumah bagi kaum elit dan bangsawan. Kastil dianggap sebagai simbol kekayaan dan pertahanan bagi kaum bangsawan. Karena fungsinya yang lebih menunjukan simbol kekayaan dan pertahanan, kastil sendiri dibangun dengan proporsi dan skala sangat besar dibandingkan bangunan-bangunan disekitarnya. Hal menarik menurut saya disini adalah bagaimana disaat sekarang, orang mengaplikasikan prinsip tersebut di dalam sebuah bangunan. Karena menggunakan kembali cara dan prinsip proporsi kastil tersebut akan jauh berbeda dari segi waktu, kondisi, budaya, dan fungsinya. Apakah harus sebuah bangunan yang menggunakan proporsi kastil hanya boleh diakses dan digunakan oleh kaum elit atau malah sebaliknya dan bagaimana dengan beberapa orang yang mencoba mengaplikasikan proporsi kastil ke dalam rumahnya ?.
“In addition to providing a home for the king in the course of his travels the royal castles were extensively used for the accommodation, temporary or otherwise, of his relatives, dependents and friends. Indeed, some of them became virtually grace-and-favour homes.”
“Royal castles which became the centres of shrieval administration must be distinguished from the rest, which served for the protection of the realm or the residence of the king. The former were few in number – only about twenty. They ceased, with a few exceptions, to have any military significance …”
“Castles were built to maintain lordship, in times of war as well as peace.”
“Castles were built to serve a whole variety of purposes, to have a military, political, social and economic role. The emphasis on each of these aspects varied according to the wishes of the lord who built it. He was presented with different options, in military or domestic design, which he had to balance against his resources if he wished to be prudent. The site, the military strength and the domestic accommodation all tell us the sort of life that the lord expected to live in the castle.”
A castle is a large medieval fortress with adequate living accommodations for its owner or Lord. Although early castles were constructed of timber and earth, our main image is of the later castles constructed of masonry and stone. Fortified medieval mansions are sometimes referred to as castles.
Dari beberapa kutipan diatas bisa dilihat bahwa, sebuah kastil dibangun dengan proporsi yang sangat besar ternyata bukan hanya karena sebagai tempat tinggal seorang bangsawan saja. Kastil juga dianggap sebagai tempat tinggal “dewa atau Tuhan”, artinya tempat tersebut merupakan tempat yang suci. Disini pengertian kastil tidak jauh berbeda dengan kuil, perbedaan terletak pada “siapa dewa atau tuhan yang dimaksud ?”. Karena dari sejarah, bisa dilihat bahwa pada zaman tersebut raja dianggap sebagai perpanjangan tangan Tuhan atau Tuhan itu sendiri. Jadi sangat wajar kalau untuk membedakannya dengan bagunan lain yakni membentuk proporsi yang jauh lebih besar di bandingkan bangunan sekitarnya. Selain itu, ada cara lain yang digunakan sebagai penanda bahwa bangunan tersebut adalah kastil yakni membangunnya di atas sebuah bukit (daratan yang lebih tinggi). Hal tersebut dilakukan karena imajinasi masyarakat pada masa lalu mengenai raja. Secara visual, terlihat bahwa antara satu kastil dengan kastil lainnya memiliki kemiripan dari material, proses pembangunannya, peletakan bukaan dan tampak dari kastil tersebut.
Wizarding_World_of_Harry_Potter_Castle castle10
Pertanyaannya adalah bagaimana pengaplikasian hal tersebut ke dalam bangunan di saat sekarang dan bagian apa yang di ambil dari kastil ?
url
Pada kenyataannya ternyata proporsi dan ornamen kastil banyak di aplikasikan ke dalam bangunan-bangunan pada saat sekarang. Proporsi ternyata sampai sekarang secara tidak langsung dipakai sebagai simbol keberadaan bangunan-bangunan penting di dalam suatu kawasan. Contohnya gedung putih yang disekitarnya tidak terdapat bangunan tinggi, gedung-gedung tinggi di daerah sudirman yang digunakan sebagai visual menutupi kawasan yang berada dibaliknya, dan tempat ibadah yang berkaitan dengan Tuhan.
rumah 1 rumah-dayang-istana
Namun, hal yang menarik disini adalah penggunaan proporsi dan ornamen kastil tidak hanya berhenti sampai bangunan yang memiliki fungsi sebagai tempat pemerintahan atau ibadah. Banyak sekarang dijumpai rumah-rumah yang menerapkan hal yang sama padahal fungsinya hanya sebagai tempat tinggal. Hal tersebut tidaklah salah, namun akibat yang ditimbulkan nantinya adalah tidak adanya perbedaan antara satu bangunan dengan bangunan lainnya yang memiliki fungsi yang berbeda.Identitas awalnya pun menghilang, karena semua bangunan sama padahal proporsi yang besar dan ornamen merupakan sebuah identitas bagi bangunan tertentu.
Sumber :
http://www.castlewales.com/cast_def.html
sumber gambar :

http://www.chillinghamcastle.co.uk/photos/Castle%20History.jpg
http://www.photographyblogger.net/wp-content/uploads/2009/05/castle10.jpg
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/4/4d/Balmoral_Castle.jpg
http://www.medart.pitt.edu/image/England/Durham/Castle/durham-castle-plan-t01-s.jpg
http://www.homearchitects.com/Log_and_Timber_Homes_photos/Castle_Design_Architect_Rand_Soellner_Stone_Castle_photo.gif
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/c/c4/Wizarding_World_of_Harry_Potter_Castle.jpg
http://images2.wikia.nocookie.net/__cb20100525214055/zombie/images/9/9b/HerstmonceuxCastle.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMDPww_I_BXGjyPCYtd0gqHRD-E5Uo_-lz5KvofWI-TTbR8iGTO47jWxz3PkNPcqKFL0zC4HxFovx3Y0grHG1DzTOP3WAWU5ObiaTIFZHQp1FephtHeJ5-3ZQOFiFt4tSQtXwLBwRrA_40/s400/rumah.jpg
http://srv.fotopages.com/2/5614317/rumah-dayang-istana.jpg
http://www.architecture.com/Images/Palladio/Interiors/Symmetry/MereworthCastle.jpg
http://4.bp.blogspot.com/-f0QYQELfUQc/UN_JvDS2T2I/AAAAAAAADjg/NYJVOiGV3yU/s1600/white-house.jpg
http://yurizone.files.wordpress.com/2010/05/gereja-katedral.jpg

Desain Pewarnaan Rambut yang Terinspirasi dari ‘Golden Ratio’

Filed under: architecture and other arts — fadilaliqa @ 13:38
Tags:
Selama ini yang kita tahu ‘golden ratio’ sering dipergunakan dalam seni visual dan arsitektur. Namun yang saya temukan kali ini cukup menarik, karena seorang penata rambut yang bernama Tanya Ramirez dari Amerika Serikat, menggunakan ‘golden ratio’ untuk desain pewarnaan rambut.
165629_182311375123544_7727444_n 168931_182311435123538_220363_n167376_182311328456882_59841_n
“Through sacred geometry, we can discover the inherent proportion, balance and harmony in any situation. I used the Golden Ratio in many ways, from sectioning and color placement to the ratios in my formulations.” Ramirez menjelaskan konsepnya tentang ‘golden ratio’ pada desain pewarnaan rambutnya.
PHOTO-A-Fibonacci1
170357_182310985123583_5185055_o 171263_182310925123589_7214192_o 171323_182310965123585_3292334_o
170068_182310945123587_4985961_o 170105_182310785123603_4953488_o


‘Golden ratio’ dijadikan sebagai acuan keindahan. Hal-hal yang, baik disengaja maupun tidak disengaja, menggunakan ‘golden ratio’ dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang indah. Desain pewarnaan rambut ini yang menggunakan ‘golden ratio’ ini apakah dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang indah?

Referensi:
http://io9.com/5985588/15-uncanny-examples-of-the-golden-ratio-in-nature
http://www.modernsalon.com/features/hair-beauty/the_golden_ratio_in_hair_color_125334838.html
http://untamedinstincts.com/news.html
http://www.youtube.com/watch?v=8Vk_m2vo-cI
[diakses 23 Maret 2013]

Deret Fibonacci, Golden Ratio, dan Web Design

Filed under: architecture and other arts — adinibrahim @ 11:47
Deret Fibonacci adalah sebuah deret angka dengan pola yang terjadi melalui penjumlahan dua angka sebelumnya.
0,1,1,2,3,5,8,13,21,34,55,89,144,…
Bagaimana hubungan deret fibonacci dengan golden ratio?
Deret Fibonacci sangat dekat hubungannya dengan golden ratio. Golden ratio sendiri adalah sebuah konsep desain yang mencoba menciptakan keindahan visual dalam seni, arsitektur, desain, tubuh manusia, dan sebagainya melalui sebuah hitungan.
Berikut contoh golden ratio pada bangunan dan alam:
ImageImage
Berikut hitungan pada golden ratio:
Image
Angka ini berlaku pula pada deret fibonacci, apabila kita membagi satu bilangan pada deret fibonacci dengan satu angka dibelakangnya, maka akan diperoleh angka golden ratio. Ini tidak terlalu tampak pada permulaan deret fibonacci. namun, hasil pembagian semakin mendekati angkat golden ratio pada bilangan-bilangan yang besar.
2/1 = 2
3/2 = 1.5
5/3 = 1.6667
8/5 = 1.6
13/8 = 1.625
21/13 = 1.6154
34/21 = 1.6190
55/34 = 1.6175
89/55 = 1.6182
144/89 = 1.6180
233/144 = 1.6180
377/233 = 1.6180
610/377 = 1.6180
Dengan eratnya hubungan fibonacci dengan golden ratio, ini berarti angka pada deret fibonacci dapat digunakan sebagai pegangan dalam menciptakan keindahan visual.
Lalu bagaimana hubungna deret fibonacci dengan web design?
Pada web design, pengaturan spasial pada bidang dua dimensi, yaitu jendela tampilan menjadi elemen utama. Spacing dan space menjadi hal penting untuk menjadikan tampilan web menarik dan indah dilihat. Segala sesuatu Tinggi dan lebar Presisi dan pengaturan spasial ini yang membedakan mana desain yang biasa saja dengan yang luar biasa.
Dengan menggunakan deret fibonacci sebagai dasar desain, dapat ditentukan proporsi dalam tampilan web. Seperti bagaimana ukuran Header terhadap navigation bar, bagaimana lebar foto terhadap sidebar, dll. Proporsi dari elemen-elemen ini yang membuat tampilan web menjadi indah atau malah hancur lebur.
Berikut contoh pengaturan spasial dengan deret fibonacci:
Image
Pengaturan ini juga dapat dijelaskan dengan golden ratio:
Image
Saat melihat deret fibonacci dan melihatnya sebagai sebuah pengaturan ruang, pengaturan margin dan ukuran huruf dapat menciptakan struktur dasar dari keseluruhan desain. Bilangan-bilangan kecil (8,13,21,34,55), dapat digunakan untuk menentukan margin, ukuran huruf, dan tebal garis. Sedangkan bilangan besar (144,233,377,610,987), dapat digunakan untuk lebar kolom dan dimensi bagian yang lain.
Menggunakan bilangan-bilangan tersebut secara sederhana, dapat menciptakan keselarasan, ritme, dan harmoni visual. Bilangan deret fibonacci dapat digunakan untuk menentukan apa pun, mulai dari ukuran bagaian utama (header, kolom, footer, dll) hingga margin dan ukuran teks.
Seperti contoh berikut:
Image    Image
Image
sumber:
http://mindblowingscience.com/brain-food/fibbonacci-and-the-golden-ratio/
http://3.7designs.co/blog/2010/10/how-to-design-using-the-fibonacci-sequence/

Golden Rules: Kemungkinan Acuan Baru dalam Fotografi (Pre-Wedding)?

Filed under: architecture and other arts — kusumaerlina @ 10:02
Dalam dunia fotografi, acuan mengenai golden rules sudahlah menjadi hal yang biasa. Muncul opini-opini yang meyakni bahwa untuk mendapatkan hasil pemotretan yang baik, sang fotografer harus mempertimbangkan golden rules saat proses pengambilan gambar. Golden Rules tersebut meliputi Golden Ratio, Golden Triangles dan Golden Spiral atau Golden Rectangle. (Sumber: http://photoinf.com/Golden_Mean/Eugene_Ilchenko/GoldenSection.html)
the first “golden” rule is the “Rule of Thirds” or “Golden Ratio”. It affects the ratio (1:1.618) of a picture size, as well as the placement of the main subjects in the photo.”
Image
Another rule is the “Golden Triangles”. It’more convenient for photos with diagonal lines. There are three triangles with corresponding shapes. Just roughly place three subjects with approximate equal sizes in these triangles and this rule will be kept.”
Image
And one more rule is a “Golden Spiral” or “Golden Rectangle” (you’ll see why it’s a rectangle in the tools section). There should be something, leading the eye to the center of the composition. It could be a line or several subjects. This “something” could just be there without leading the eyes, but it will fulfill its purpose anyway.”
Image
Bagi sebagian orang, pernikahan tidaklah lengkap tanpa foto-foto pre-wedding. Foto-foto tersebut telah menjadi suatu keharusan bagi setiap pasangan pengantin sebelum menyambut hari bahagia mereka. Foto-foto di bawah ini merupakan beberapa foto pre-wedding yang dipilih secara acak dari website www.prayasa.com.
Image
Seringkali kita merasa terpukau melihat foto-foto tersebut sekaligus mempertanyakan bagaimana sang fotografer dapat mengabadikan momen seindah itu baik dari bahasa tubuh sang pengantin maupun komposisi gambar antara sang pengantin dengan latar. Hasil foto-foto pre-wedding yang dipublikasi merupakan hasil pemilihan foto-foto terbaik dari puluhan bahkan ratusan foto yang diambil selama proses pemotretan. Jika melihat kembali opini mengenai foto yang baik merupakan foto yang menerapkan acuan golden rules, lantas apakah semua foto-foto pre-wedding yang dipilih tersebut sudah merepresentasikan golden rules? Secara personal, saya tidak begitu meyakini bahwa dengan mengikuti golden rules dapat membuat sebuah foto terlihat baik dan untuk membuktikannya saya mencoba menganalisis foto-foto pre-wedding tersebut menggunakan golden rules seperti pada gambar di bawah ini.
Image
Hasilnya, dari tiga foto pre-wedding tersebut hanya satu yang mengacu pada golden rules. Hal ini membuktikan bahwa golden rules bukan satu-satunya acuan suatu foto dapat dikatakan baik. Di sisi lain, saya mempertanyakan untuk apa kita tetap menyakini acuan golden rules jika hasil foto tetap dapat terlihat tanpa harus mengikuti acuan tersebut. Terlintas sebuah pemikiran jika acuan ini (golden rules) bisa dikritisi dan tidak sepenuhnya diterapkan maka pasti ada kemungkinan acuan-acuan lain yang lebih tepat dibanding golden rules namun belum terungkap hingga saat ini.
Image
 Ketiga foto di atas terlihat serupa namun dari ketiga foto tersebut tidak ada satupun yang mengikuti acuan golden rules. Lantas acuan apa yang membuat ketiga foto yang berbeda ini terlihat serupa? Menurut saya, ini yang lebih menarik untuk diungkap dibanding harus terus berkutat dengan golden rules.
Sumber:
http://photoinf.com/Golden_Mean/Eugene_Ilchenko/GoldenSection.html
Sumber Gambar:
http://www.prayasa.com/
http://mudahmenikah.wordpress.com/fotografi/
http://www.newlifeimage.com/portfolio/pre-wedding-frank-eunice/prewedding-outdoor-banten-8/
http://peluang-usaha.pelapak.com/portrait-pre-wedding-bali-portrait.html

GRID DALAM LUKISAN PIET MONDRIAN

Filed under: architecture and other arts — nadiaalmiraa @ 09:33
Piet Mondrian adalah sebuah nama yang tidak asing lagi. Ia sendiri adalah salah satu seniman yang sering mempraktekan neoplasticism dalam lukisan-lukisannya. Neoplasticism adalah aliran seni yang fokus terhadap dasar-dasar seni rupa, yaitu garis, bentuk, warna, keseimbangan, dan kesatuan. Hasil yang dihasikan dari aliran cenderung sederhana dan abstrak.
Lukisan-lukisan yang dihasilkan oleh Piet Mondrian memiliki ciri khas. Ia menggunakan warna primer, merah, biru, dan kuning, serta warna hitam dan putih. Terkadang ia menambahkan warna sekunder, seperti abu-abu. Warna-warna ini disusun dalam bentuk geometri. Di dalam lukisannya juga terdapat gari vertikal ataupun horizontal yang berwarna hitam. Bentuk geometri serta garis-garis ini tentu tidak ditempatkan secara sembarangan untuk menemukan sebuah komposisi.
            a composition            composition N.1 with red and blue            composition with yellow blue and red
Kiri: A composition (1923), tengah: Composition N.1 with Red and Blue (1931) , dan kanan: Composition with Yellow, Blue, and Red (1939-1942)
Tiga gambar diatas adalah contoh lukisan karya Piet Mondrian. Seperti yang telah disebutkan diatas, terdapat permainan komposisi dengan bentuk, warna, dan garis. Ketika garis-garis yang ada, baik vertikal maupun horizontal, diteruskan lukisan-lukisan tersebut akan terlihat seperti ini.
           a composition1           composition N.1 with red and blue1              composition with yellow blue and red1
Ketika garis-garis yang ada ditarik akan terlihat beberapa kotak kecil. Kemudian jika kita menarik garis vertikal dan horizontal, menyesuaikan dengan lebar dan tinggi kotak kecil tersebut, akan terlihat lukisan seperti dibawah ini.
a composition2         composition N.1 with red and blue2             composition with yellow blue and red2
Persegi yang terbentuk dari penerusan garis ini memang tidak bisa disebut persegi karena tidak sama sisi dan tidak semuanya memiliki ukuran yang sama, tetapi tetap dapat dilihat sebagai sebuah grid. Dari gambar diatas dapat dibilang bahwa komposisi yang dilakukan oleh Piet Mondrian tidak hanya permainan warna, bentuk, dan garis, tetapi juga permainan grid.
Gambar diatas juga memperlihatkan perkembangan Mondrian. A Composition (kiri) yang dilukis Mondrian pada tahun 1923, memiliki banyak perbedaan jika dibandingkan dengan Composition N.1 with Red and Blue (tengah) yang dilukis pada tahun 1931 dan Composition with Yellow, Blue, and Red (kanan) yang dilukis pada tahun 1939-1942. A Composition memiliki garis yang lebih tipis dan permainan warna yang lebih bervariasi jika dibandingkan dengan karya-karyanya selanjutnya yang didominasi warna putih. Selain itu grid yang terlihat pada A Compisition lebih teratur. Lebih teratur disini disebabkan oleh variasi ukuran kotak dalam grid yang lebih sedikit sehingga tidak terlihat terlalu mencolok.
Sumber referensi:
http://designfestival.com/grid-theory/ (diakses tanggal 24 Maret 2013)
http://www.wisegeek.com/what-is-neoplasticism.htm (diakses tanggal 24 Maret 2013)

Criteria of Ideal VIlla

Filed under: classical aesthetics — tanjungandy @ 08:16
“There are two causes of beauty-natural and customary. Natural is from geometry consisting in uniformity, that is equality and proportion. Customary beauty is begotten by the use, as familiarity breeds a love for things not in themselves lovely. Here lies the great occasion in errors, but always the true test is natural or geometrical beauty. Geometrical figures are naturally more beautiful than irregular ones: the square, the circle are the most beautiful, next the parallelogram and the oval. There are only two beautiful positions of straight lines, perpendicular and horizontal; this is from Nature and consequently necessity, no other than upright being firm.” (Sir Christoper Wren, Parentalia)
Kutipan kata-kata yang diucapkan oleh Sir Christoper Wren di atas itu mengacu kepada tipe ideal dari villa yang menurutnya harus berdasarkan ‘equality’ dan ‘proportion’, dimana menurutnya bentuk geometris yang paling baik adalah lingkaran dan persegi, lalu parallelogram  dan oval. Menurutnya, tipe villa ideal adalah yang seperti villa Capra-Rotonda oleh Palladio.
“As the ideal type of centralized building Palladio’s Villa Capra-Rotonda (plate 1) has, perhaps more than any other house, imposed itself upon the imagination. Mathematical, abstract, four square, without apparent function and totally memorable, its derivatives have enjoyed universal distribution; and, whrn he writes of it, Palladio is lyrical.”
Image
Villa Capra-Rotonda
Image
Sir Christopher Wren ketika mengucapkan kata-kata tersebut mengacu kepada arsitektur yang ada tahun ketika beliau lahir (1632-1723), dan menurutnya bentuk geometris dan keadaan villa seperti itulah yang ideal. Namun, jika kita tinjau lagi pada masa sekarang ini, apakah hal tersebut ternyata masih dapat dikatakan seperti itu, apa villa yang baik memang harus berbentuk geometris seperti persegi atau lingkaran, dan sebagainya? Mungkin tidak pada zaman sekarang, tapi walaupun pada masa sekarang ini banyak bangunan atau villa yang bentuknya sudah mungkin tidak simetris dan berbentuk geometris, tapi yang tetap dipertahankan dari dulu adalah mengenai proporsi itu sendiri untuk merancang bangunan yang baik.
Referensi
The Mathematics of Ideal Villa, First published in the Architectural Review, 1947.

Komentar